OPINI: Ambiguitas Relawan dalam Praktik Politik Uang di Pemilu 2024

Aktivis Peduli Pemilu, Deri

Penulis: Deri (Jaringan Pemuda Peduli Pemilu)

Ritmee — Pada Pemilu 2019 lalu, Charta Politika merilis persentase opini masyarakat terhadap praktik politik uang.

Bacaan Lainnya

Hasilnya begitu mengejutkan. Sebanyak 45,6 persen, masyarakat mewajarkan praktek politik uang.

Hanya 39, 1 persen saja masyarakat yang
menolak politik uang, sedangkan 15, 4 persen tidak menjawab.

Masyarakat Jawa Timur menjadi daerah paling menerima politik uang dengan persentase 54, 7 persen.

Kemudian DKI dan Banten dengan persentase 54, 5 persen.

Padahal Undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017 secara tegas menyatakan bahwa praktik tersebut dilarang.

Bahkan politik uang termasuk tindak pidana pemilu.

Lantas, apa pemicu politik uang? Siapa yang sering terlibat? Bagaimana akibat dari tindak pidana tersebut bagi kesehatan demokrasi kita?

Lebih jauh, bagaimana cara menyikapi hal tersebut pada pemilu 2024 mendatang?

Pemicu Terjadinya Praktik Politik Uang Pada Pemilu 2024

Pakar Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengartikan politik uang sebagai upaya memengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi.

Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia mengatakan, bahwa politik uang telah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.

Prakteknya tidak hanya memberikan uang saja, melainkan berupa kebutuhan pokok.

Di era digital, politik uang bisa berupa digital vote buying atau membeli suara dalam bentuk digital untuk pemenangan calon tertentu.

Titi berpendapat, pemicu paling utama tindak pidana tersebut ialah mental buruk para politisi.

Para politisi masih memiliki keyakinan bahwa uang merupakan faktor utama dalam meraih kemenangan.

Selain itu, diperkuat dengan sistem kaderisasi yang buruk. Sehingga muncul budaya instan. Pergerakan mereka tidak mengakar di basis konstituennya.

Akhirnya mereka memilih politik transaksional dari pada politik gagasan.

Berdasarkan analisa Titi itu, praktek politik uang pada pemilu 2024 bisa lebih brutal.

Hal ini karena tindak pidana tersebut tidak hanya terjadi di tataran grassroot. Tapi dilakukan juga oleh birokrasi, pemerintah dan elit partai.

Politik Uang diawali sejak rekrutmen calon anggota legislatif dan penetapan nomor urut calon oleh partai.

Alasannya adalah untuk membiayai saksi, pengawalan suara dan menjalankan mesin partai.

Belum lagi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen
mendorong koalisi partai yang tidak alami dalam meloloskan kandidatnya ikut perhelatan pemilu.

Hal ini menurut Dosen UI tersebut akan melahirkan politik transaksional.

Pemicu kedua adalah regulasi yang memang longgar terhadap tindak pidana tersebut.

Kelonggaran ini dapat dilihat dari subjek pemberi uang yang diatur dalam UU 7 tahun 2017.

Pada masa kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang adalah peserta, pelaksana atau tim kampanye.

Sedangkan pada tahapan pemungutan suara, subjek pemberi uang adalah setiap
orang.

Hal inilah yang akan memberi kelonggaran kepada pihak di luar peserta, pelaksana atau tim kampanye dalam melakukan praktik politik uang pada masa kampanye dan masa tenang. Misalnya relawan.

Status relawan menjadi ambigu sekaligus bola liar yang bebas hukum.

Setidaknya mereka lebih leluasa dalam melakukan berbagai upaya guna memenangkan calon yang didukungnya. Termasuk melakukan politik uang.

Faktor ketiga pemicu maraknya politik uang adalah masa kampanye yang terlalu pendek. 75 hari.

Sehingga para calon pemimpin tidak memiliki kesempatan banyak dalam mengutarakan ide dan gagasannya.

Saat ide dan gagasan tidak tersampaikan, maka uang lah yang berbicara.

Dampak dari Praktik Politik Uang Bagi Kesehatan Demokrasi Kita

Praktek Politik uang tentu tidak baik bagi kesehatan demokrasi kita.

Dampak yang lahir dari politik uang diantaranya;

Pertama, maraknya kasus korupsi, sebagaimana disampaikan oleh Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK.

Ia menyebut politik uang sebagai “Mother of Corruption“.

Sejak pencalonan para kontestan harus merogoh kocek lebih dalam. Akibatnya saat ia terpilih, yang secara logis akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya.

Kedua, rendahnya kualitas pemimpin yang dihasilkan.

Para pemimpin yang terpilih bukanlah
pemimpin yang memiliki gagasan untuk membawa rakyat kepada keadilan sosial.

Bukan pula yang memiliki strategi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Melainkan orang-orang yang menggunakan kekuasaan untuk berbisnis dan mencari keuntungan pribadi.

Ketiga, merusak moral bangsa. Melalui praktik politik uang, bangsa ini diajarkan untuk menjadikan uang sebagai faktor pertama dalam meraih kemenangan. Bukan gagasan dan kualitas diri.

Kedaulatan setiap orang dibajak oleh uang. Sehingga kedaulatan bukan di tangan rakyat tetapi ditentukan oleh uang.

Oleh karena itu, demi menjaga kedaulatan rakyat dan menciptakan kehidupan demokrasi yang sehat, partai yang melakukan politik uang sudah semestinya didiskualifikasi.

Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap lebih tegas atas praktik politik uang. Menurutnya, “bubarkan partai politik yang membiarkan politik uang” sebagaimana tercantum dalam putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022. (**)

Pos terkait