RITMEKALTIM – Ketimpangan pengelolaan transportasi sungai di Kalimantan Timur kembali mendapat sorotan. Sungai Mahakam, yang menjadi nadi utama aktivitas industri dan logistik di wilayah ini, dinilai belum memberikan manfaat ekonomi yang sepadan bagi daerah.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Subandi, menyuarakan perlunya peninjauan ulang terhadap regulasi pengelolaan moda transportasi air yang saat ini sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Menurut Subandi, dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan arus lalu lintas air dari hulu ke hilir membuat pemerintah provinsi tidak memiliki ruang cukup untuk turut mengelola maupun mengambil manfaat fiskal dari aktivitas transportasi di Sungai Mahakam.
Padahal, dampak sosial, lingkungan, hingga kerusakan infrastruktur akibat aktivitas kapal tongkang, terutama yang mengangkut batu bara, justru ditanggung oleh daerah.
“Daerah kita yang kena imbasnya, tapi manfaat langsung secara fiskal justru minim. Ini tidak adil,” ujar Subandi, Senin (19/5/2025).
Setiap hari, kapal-kapal tambang lalu lalang melewati Sungai Mahakam. Namun hingga kini, belum ada skema royalti, retribusi, atau bentuk kontribusi langsung lain yang masuk ke kas daerah.
Hal ini menjadi ironi, mengingat beban perbaikan infrastruktur termasuk jembatan yang rusak karena aktivitas tongkang—justru dibebankan pada APBD Kaltim.
Bagi Subandi, ketidakseimbangan ini menunjukkan perlunya revisi aturan agar pengelolaan transportasi air tidak hanya berpihak pada pemerintah pusat dan pemilik modal, tetapi juga memperhitungkan hak dan kepentingan daerah.
“Kita tidak bicara soal pengambilalihan penuh, tapi paling tidak ada profit sharing yang layak. Kalau tidak bisa dapat kewenangan, daerah harus bisa dapat bagian yang proporsional,” tegasnya.
Ia mendorong agar pemerintah provinsi mulai aktif memperjuangkan revisi regulasi di tingkat nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang menempatkan pemerintah daerah sebagai pemegang tanggung jawab pembangunan, termasuk dalam hal pengelolaan dampak aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayahnya.
“Selama ini kita seperti penonton yang hanya menanggung rugi. Harus ada keberanian untuk menuntut keadilan fiskal dari pemanfaatan sumber daya dan infrastruktur kita,” tuturnya.
Subandi juga menambahkan bahwa mendorong kontribusi nyata dari sektor transportasi sungai bukan sekadar persoalan PAD, tetapi bagian dari keadilan struktural yang selama ini terabaikan dalam skema pembangunan nasional.
Dengan semakin meningkatnya intensitas aktivitas ekonomi di Sungai Mahakam, tuntutan ini dinilai semakin mendesak. Kaltim, sebagai wilayah yang secara langsung terdampak, tidak bisa terus-menerus berada di posisi menanggung beban tanpa mendapatkan manfaat yang sepadan. *DFA (ADV DPRD KALTIM)