Mafia Tanah di Kaltim, Harun Al Rasyid Sebut Harus Ada Tindakan Tegas

Anggota DPRD Kaltim, Harun Al Rasyid. (Dok pribadi)
Anggota DPRD Kaltim, Harun Al Rasyid. (Dok pribadi)

RITMEEKALTIM — Isu mafia tanah di Kalimantan Timur (Kaltim) makin santer terdengar. Apalagi dengan ditunjuknya Benua Etam sebagai IKN.

Hal ini mendapat komentar dari berbagai pihak. Salah satunya dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) Harun Al Rasyid.

Bacaan Lainnya

Menurut pria kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu seharusnya ada penindakan tegas terhadap praktek mafia tanah yang merugikan masyarakat. Dia mengatakan, pelaku harus ditindak tegas.

“Solusinya kalau menurut saya ya penegakan hukum. Karena ini kaitannya dengan undang-undang, maka ini tugas aparat kepolisian. Kalau Perda tugasnya Satpol. Ditertibkan dengan penegakan hukum, ini hanya bisa dilakukan kehadiran negara,” katanya, Kamis (9/11/2024).

Ketua Fraksi Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) itu menjelaskan praktek mafia tanah di Kaltim, harus ditangani semua pihak.

“Implementasinya di lapangan harus ada koordinasi antara pemprov dan aparat kepolisian. Kemudian DPRD sebagai fungsi pengawasan,” tuturnya

“Lebih dari itu, upaya pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik harus memperhitungkan berbagai aspek, terutama aspek hukum, untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara,” sambungnya.

Wakil Ketua Badan Kehormatan itu, menjelaskan bagi stakeholder terkait untuk mencari solusi tentang permasalahan tanah yang ada di Kaltim dengan prinsip utama tidak merugikan masyarakat.

“Mencari solusi yang solutif tanpa merugikan masyarakat. Kami garis bawahi, tidak merugikan masyarakat,” harapnya.

Terakhir ia menegaskan para mafia tanah harus memiliki pemikiran tentang akhirat bukan dunia saja.

“Hidup di dunia ini hanya sementara, manusia diciptakan dari tanah dan akhirnya akan kembali ke tanah juga. Di akhirat manusia akan ditanya tentang hartanya, termasuk kepemilikannya atas tanah, bagaimana dia mendapatkannya dan untuk apa ia gunakan,” tegasnya.

“Pada saat itu manusia tidak bisa mengelak, karena mulut sudah dikunci, yang berbicara adalah tangannya, yang jadi saksi adalah kakinya, mata, pendengaran dan kulitnya,” tutupnya. (adv/dprd)

Pos terkait