Bontang – Salah satu dokter spesialis mata RSUD Taman Husada Bontang, Retnaningrum, angkat bicara soal dilema yang kerap dialami masyarakat ketika hendak ingin memilih kacamata. Ia mengatakan apabila pasien memiliki perbedaan refraksi antara mata kiri dan kanan maka penyeragaman antara kaca kiri dan kanan tidaklah benar.
“Jika mata kiri memiliki minus 1,87 dan mata kanan minus 2, tentu koreksi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mata. Tidak bisa menggunakan kacamata yang ukurannya sama untuk kedua mata,” kata dr. Retnaningrum, spesialis mata di RSUD Taman Husada Bontang saat ditemui, Rabu (16/10/2024).
Koreksi yang tidak tepat justru bisa menyebabkan ketidaknyamanan saat beraktivitas. Penglihatan yang nyaman dan optimal hanya dapat dicapai jika koreksi mata dilakukan dengan benar.
Dirinya menjelaskan, perbedaan refraksi antara kedua mata, seperti hypermetropia (rabun dekat) atau miopi (rabun jauh), memerlukan penyesuaian maksimal 3,5 dioptri. Jika perbedaan koreksi melebihi angka tersebut, efek samping seperti pusing dan pandangan kabur mungkin akan dirasakan pasien.
“Misalnya, satu mata netral dan satu mata minus. Jika kita koreksi lebih dari 3,5 dioptri, pasien akan merasa tidak nyaman, bahkan bisa mengganggu kesehariannya,” tuturnya.
Pada anak-anak, koreksi penuh diberikan meskipun perbedaan refraksi lebih besar dari 3,5 dioptri. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kondisi ambliopia atau mata malas. Namun, pada orang dewasa, koreksi penuh sering kali tidak diberikan karena dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
“Anak-anak mungkin bisa mentoleransi koreksi penuh, tetapi pada orang dewasa, batas toleransi ini lebih rendah. Koreksi yang berlebihan akan membuat pasien merasa tidak nyaman,” jelasnya.
Lebih jauh, dr. Retnaningrum juga menyoroti perbedaan kualitas kacamata yang dijual di optik dengan yang tersedia di platform online. Meskipun kacamata online sering kali lebih murah, konsultasi langsung di optik menawarkan keuntungan lebih, terutama dalam hal kenyamanan dan pilihan lensa yang lebih variatif.
“Di optik, pasien bisa berkonsultasi secara langsung dan mendapatkan saran mengenai jenis lensa yang sesuai dengan kebutuhan aktivitasnya, seperti lensa anti-refleksi untuk penggunaan komputer. Ini tidak bisa dilakukan jika membeli kacamata di platform online,” terangnya.
Pun ia mengatakan, meski kacamata yang dijual di platform online tidak berbahaya, potensi ketidakcocokan dengan kondisi mata pasien lebih tinggi karena tidak ada proses konsultasi. Selain itu, lensa yang dijual di optik memiliki kualitas dan cakupan yang lebih baik sesuai dengan standar medis.
“Kalau di optik, kita bisa memilih lensa yang lebih sesuai, dan pasien bisa mendapatkan hasil koreksi yang lebih tepat,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dr. Retnaningrum mengimbau masyarakat untuk mempertimbangkan dengan matang sebelum membeli kacamata, terutama bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan yang kompleks.
“Konsultasi dengan dokter dan optik adalah langkah terbaik untuk mendapatkan kacamata yang sesuai dengan kebutuhan mata dan aktivitas sehari-hari. Memilih kacamata tidak hanya tentang harga, tetapi juga kenyamanan dan kesehatan mata jangka panjang,” pungkasnya. (adv)