RITMEE KALTIM – Pendirian rumah ibadah kembali menjadi sorotan publik di Samarinda. Kali ini, Gereja Toraja yang berencana membangun tempat ibadah di kawasan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang, mengalami kendala administratif yang berujung pada mandeknya proses izin.
Hingga pertengahan Mei 2025, pembangunan gereja tersebut belum bisa dilanjutkan karena belum diterbitkannya rekomendasi dari Kementerian Agama Kota Samarinda. Proses ini semakin kompleks dengan munculnya keberatan dari sebagian warga sekitar, yang memunculkan kekhawatiran akan potensi gesekan sosial.
Menanggapi hal itu, DPRD Kota Samarinda menyatakan siap mengambil peran sebagai fasilitator agar persoalan ini tidak berkembang menjadi konflik horizontal. Ketua Komisi IV DPRD, Novan Syahronny Pasie, mengusulkan penyelenggaraan forum terbuka agar seluruh pihak bisa menyampaikan pandangannya secara setara.
“DPRD tidak ingin ada kesan saling menutup diri. Jika memang ada persoalan, mari kita duduk bersama. Kami siap memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat sebagai langkah awal menuju solusi,” ujar Novan, Rabu (14/5/2025).
Novan menegaskan bahwa proses pendirian rumah ibadah di Indonesia memiliki mekanisme yang jelas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Regulasi tersebut menuntut kelengkapan dokumen administratif serta dukungan sosial dari lingkungan sekitar.
Namun, menurutnya, penting pula menempatkan regulasi dalam semangat keadilan dan kebersamaan. “Tidak bisa hanya melihat dari sisi prosedural saja. Kita juga harus memastikan bahwa nilai-nilai toleransi tetap dijunjung tinggi,” tegasnya.
Pihak Gereja Toraja sendiri terus berupaya memperjuangkan hak konstitusional jemaatnya. Mereka menggandeng Aliansi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AAKBB) Kalimantan Timur sebagai pendamping hukum dan advokasi.
Hendra Kusuma, selaku Ketua AAKBB Kaltim, menyoroti pentingnya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Ia mendesak agar alasan-alasan keberatan terhadap pembangunan gereja disampaikan secara jelas dan tidak ditutupi.
“Kami mendorong adanya dialog yang fair. Jika ada pihak yang menolak, harus dijelaskan apa alasannya dan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan HAM,” kata Hendra.
Ia juga menekankan bahwa hak beragama tidak bisa dikalahkan oleh tekanan kelompok tertentu. Menurutnya, negara harus hadir menjamin kebebasan setiap warga untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Situasi ini menjadi ujian nyata bagi semangat pluralisme di Kota Tepian. DPRD pun berharap bahwa semua pihak bisa mengedepankan dialog konstruktif agar keputusan yang diambil tidak melukai prinsip toleransi yang telah lama menjadi fondasi kebersamaan di Samarinda.(ADV/DPRD SAMARINDA)