RITMEKALTIM – Kesenjangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil di Kalimantan Timur masih menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah daerah.
Hal ini menjadi sorotan Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, yang menyebut bahwa pendekatan konvensional tak lagi memadai untuk menjawab tantangan pendidikan di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
Menurutnya, sejumlah daerah seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, hingga pedalaman Kutai Timur dan Kutai Kartanegara menghadapi hambatan geografis dan keterbatasan infrastruktur pendidikan yang akut.
“Kita tidak bisa serta-merta membuka unit sekolah baru karena terbentur regulasi, salah satunya soal jumlah minimum peserta didik,” ujar Darlis, Sabtu (14/6/2025).
Pembatasan ini membuat banyak wilayah tak bisa memiliki sekolah sendiri. Sementara konsep sekolah filial yang semestinya bisa menjangkau komunitas kecil juga tidak bisa dijalankan karena belum mendapat payung hukum yang kuat dari pemerintah pusat.
“Padahal sekolah kelas jauh itu ideal untuk kondisi geografis Kaltim yang banyak daerahnya sulit dijangkau,” katanya.
Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi Kaltim melalui Dinas Pendidikan tengah merancang solusi alternatif: menghadirkan guru langsung ke wilayah tanpa sekolah.
Program ini akan mulai dijalankan pada awal 2026, dengan mengirim tenaga pengajar ke desa-desa yang tidak memiliki akses ke jenjang pendidikan menengah.
“Solusi terbaik saat ini adalah membalikkan pendekatannya. Bukan siswa ke sekolah, tapi guru yang menjangkau siswa,” jelas Darlis.
Ia menambahkan bahwa pendekatan ini akan disertai dengan pemberian insentif khusus bagi para guru yang bersedia ditugaskan di daerah 3T.
Kebijakan ‘guru keliling’ tersebut diproyeksikan menjangkau ribuan anak usia sekolah yang selama ini belum tersentuh layanan pendidikan formal.
Pemerintah provinsi menilai, pendekatan ini merupakan langkah strategis jangka pendek sambil menunggu regulasi nasional mengenai pendirian sekolah disesuaikan dengan realitas geografis daerah.
Lebih dari sekadar pemenuhan kewajiban pendidikan, inisiatif ini juga dilihat sebagai langkah konkret memperkecil ketimpangan kualitas sumber daya manusia antara kota dan desa.
Darlis menegaskan, pendidikan adalah hak dasar setiap anak bangsa, dan negara tidak boleh membiarkan anak-anak di pelosok terus tertinggal hanya karena kendala administratif atau jumlah siswa.
Dengan kolaborasi antara eksekutif dan legislatif, Kalimantan Timur berharap bisa mendorong pemerataan akses pendidikan yang lebih berkeadilan. Program guru keliling menjadi simbol komitmen bahwa pendidikan tidak boleh mengenal batas geografis. *DFA (ADV DPRD KALTIM)