OPINI: Benang Kusut di Balik Megahnya Kubah Al-Zaytun

Panji Gumilang, Pimpinan Pesantren Al-Zaytun

Ritmee — Ma’had Al -Zaytun atau Pondok Pesantren Al-Zaytun adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang pada 1 Juni 1993 dibawah naungan Yayasan Pendidikan Indonesia (YPI).

Pondok pesantren yang terletak di desa Mekarjaya, kecamatan Gantar, kabupaten Indramayu, provinsi Jawa Barat pernah disebut oleh The Washington Times pada tahun 2005 sebagai the largest Islamic madrasah in Southeast Asia atau pesantren terbesar se-Asia Tenggara.

Bagaimana tidak, pondok pesantren ini berdiri di atas lahan seluas 1.200 Ha dan terakhir tercatat memiliki kurang lebih 7.000 santri dari berbagai daerah di Indonesia serta luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Afrika Selatan yang menimba ilmu di pesantren ini.

Sayangnya, kemegahan pondok pesantren ini tercoreng oleh berbagai kontroversi yang ditimbulkan oleh pemimpinnya.

Benang kusut kontroversi ala Al-Zaytun

Beberapa bulan belakangan ini Al-Zaytun tak pernah sepi dari kontroversi. Hal itu akibat sejumlah sikap dan pernyataan “nyeleneh” pemimpin tertingginya, Pandji Gumilang, yang memantik perdebatan publik.

Mulai dari salam Yahudi, pembauran laki-laki dan perempuan dalam salat berjamaah, perempuan sebagai khatib shalat Jumat, muadzin menghadap jemaah, dan lain-lain.

Bukan pertama kalinya Al-Zaytun membuat gaduh dan kontroversi dikalangan publik, setidaknya pada tahun 2011 Al-Zaytun pernah diindikasikan menjadi tempat markas NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah Sembilan).

Berdasarkan informasi, itu merupakan sebuah gerakan radikalisme yang muncul pada masa awal kemerdekaan yang bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang kala itu baru memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.

Jika ditarik lebih jauh kebelakang, heboh Al-Zaytun tidak hanya terkait dengan keagamaan, tetapi juga persoalan politik.

Pada Pemilu 2004 yang lalu, panitia pengawas pemilu (Panwaslu) Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, menemukan beberapa fakta tentang pelanggaran pemilu yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Zaytun.

Temuan pelanggaran tersebut adalah dugaan penggelembungan suara hingga mobilisasi massa dalam pemilihan presiden (pilpres) ke pondok pesatren Al-Zaytun.

Namun, semua kontroversi yang disebutkan di atas seolah tidak pernah berakhir dengan kejelasan. Hal ini menimbulkan asumsi di masyarakat tentang adanya “Invisible Hand” di balik keberadaan Al-Zaytun atau pun Pandji Gumilang, sehingga seperti tak tersentuh oleh hukum (untouchable by law).

Selain itu, kontroversi Al-Zaytun di tengah masyarakat juga menimbulkan serpihan-serpihan respons yang bersifat sporadis, fragmentatif, atau sepotong-sepotong, yang jika tidak cepat diredam akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dan konflik sosiologis yang baru.

Mengurai Benang Kusut Al- Zaytun

Pandji Gumilang dan Al-Zaytun harusnya menjadi pelajaran bagi setiap kita. Pertama, tidak sekadar berpikir dan bertindak yang terkesan hanya mencari sensasi dan popularitas.

Setiap pemikiran harus berlandaskan agumentasi normatif yang solid dan otoritatif. Kontroversi ini juga menjadi pelajaran bagi seluruh institusi pesantren agar bersikap inklusif, dialogis, dan ramah terhadap pihak luar.

Alasannya, salah satu penyebab kontroversi Al-Zaytun ini melebar kemana-mana adalah akibat adanya disparitas dan kesenjangan pengetahuan antara masyarakat yang berada dilingkungan sekitar dan orang-orang yang ada didalam pesantren Al-Zaytun.

Dalam konteks penegakan hukum institusi negara, dalam hal ini pemerintah, Polri, dan pengadilan, diharapkan lebih bijak dan arif dalam mengurai benang kusut Al-Zaytun ini.

Sebab perlu diingat, setiap putusan pengadilan terhadap kasus penyimpangan atau penodaan agama terdapat risiko penurunan indeks demokrasi.

Sejarah demokrasi negara kita pernah mencatat bagaimana kasus penistaan agama yang dikenakan pada Ahmadiyah yang diikuti oleh mobilisasi massa besar-besaran yang pada gilirannya justru dapat mengancam indeks demokrasi dan terpasungnya kebebasan sipil warga negara.

Kita berharap dalam mengurai benang kusut Al-Zaytun ini pemerintah dan aparat penegak hukum bisa memproses Pandji Gumilang sebagai individu target penegakan hukum, bukan Al-Zaytun secara kelembagaan dan terhadap institusi Al-Zaytun dilakukan pembinaan di bawah pengawasan Kementerian Agama agar para murid (santri) yang ada di dalamnya bisa “dibina” kembali.

Penulis: Iwid Perdana S.Pd. M.M (Dosen dan Pemerhati Pendidikan)