Penulis: Agung Ardaus
(Jaringan Aktivis Filsafat Islam Nusantara)
RITMEE — Politik, seperti dalam tradisi filsafat, terutama saat menyortir Nicomachean Ethics karya apik Aristoteles, adalah filsafat praktis tertinggi.
Diskursus filsafat praktis sendiri diawali dengan etika (aturan individu), kemudian keluarga (aturan tentang ruang tamu hingga kelambu), diakhiri dengan politik (aturan kenegaraan).
Dalam tinjauan bahasa (Yunani), politik artinya negara/kota (polis). Dapat juga diartikan kebijaksanaan (policy), penataan (regulation), pengamanan (police/polisi), dan semaksud dengan perealisasian keadilan (qist/adl/hukm/hadd). Dengan kata lain, politik tidak akan terpisah dari hukum.
Itu juga yang menjadikan politik sebagai filsafat praktis tertinggi, sebab hukum mengatur seluruh lembaga yang hadir di negara bangsa (nation-state), baik lembaga kepolisian, kemiliteran, partai, dan lain sebagainya.
Dari pembacaan inilah, politik dalam pengertiannya yang paling penting adalah suatu ikhtiar manusia dalam menciptakan transformasi sosial menuju kebaikan bersama.
Namun sebagai catatan, ternyata hal demikian ini muncul dalam aspeknya yang timbal-balik. Alasannya, hukum adakalanya, dan bahkan mungkin seluruhnya lahir dari diskursus panjang yang “terpolitisasi”, yang tentu saja tidak kurang dari bergantung pada ideologi sang politisi dan atau partai politik.
Singkatnya, politik dan ragam produk hukum yang dipahami saat ini, tidak terpisah dari apa yang disebut sebagai partai. Untuk memperjelas bacaan ini, disarankan untuk menelisik karya Mahfud MD, Politik Hukum, dan pemikiran Kuntowijoyo soal identitas politik.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik, ditandaskan pada pasal 1 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Pengertian UU di atas tidak susah. Kalau ingin disingkat yaitu; sistematisasi keadilan sosial. Akan tetapi, bahkan dalam pelbagai interaksi untuk meraih bangku kekuasaan, melalui Pemilu, tidak jarang pula ditemui apa yang orang sebut sebagai “Kampanye Hitam”.
Burhanuddin Muhtadi, salah seorang akademisi dan peneliti kondang, mengklasifikasi ada tiga jenis kampanye politik di antaranya:
- Kampanye positif yang lebih kepada mengangkat sisi keunggulan calon;
- Kampanye negatif yang concern menguliti kelemahan lawan, tetapi dengan argumen, data dan fakta empirik;
- Kampanye hitam yang bertujuan untuk menghancurkan pihak lawan tanpa disertai bukti-bukti otentik dan menjurus kepada fitnah.
Menurutnya, salah satu kampanye hitam (black campaign) adalah melakukan lebelling atau name calling, suatu sematan untuk orang dengan nama-nama julukan yang “buruk”. Dia mencontohkan label yang disematkan orang-orang kepada Joko Widodo sebagai “Capres Boneka”. Ini satu contoh, dan banyak contoh yang lain.
Di era revolusi informasi, justru pelabelan semacam itu amat mendukung untuk mempercepat distribusi kebencian kepada para pemimpin yang nyata-nyatanya juga punya banyak kebaikan.
Di masa timbunan informasi ini, kampanye hitam bisa menjadi “bahan bakar” yang menyulut api perkelahian, yang pada gilirannya dapat merusak masa depan bangsa ini. Ibu jari bisa menjadi bensin penggerak sentimen masyarakat dalam dukung-mendukung kandidat.
Ini karena menggoyangkan jari tidak mahal, gratis dan mudah, selain itu kampanye hitam sendiri tidak mengenal fakta ataupun fiksi. Keduanya tidak penting.
Apa yang penting adalah orang bisa percaya pada label yang diberikan kepada pihak lawan. Kata-kata propaganda dipoles sedemikian rupa agar terjadi desas-desus yang pada akhirnya berpengaruh pada publik.
Agar hal ini dapat terealisasi dengan baik, masyarakat dipaksa mengunyah dan menelan framing mentah-mentah, baik melalui media sosial maupun dengan gosip-gosipan face to face.
Kampanye hitam yang lain adalah melakukan pemilihan fakta dan data yang sifatnya selektif atau apa yang dikenal sebagai card stacking. Hal ini biasanya dilakukan dengan memanfaatkan media yang hanya menampilkan sisi-sisi positif sang calon yang didukung serta menekan aspek-aspek negatif lawan.
Singkatanya, ragam data dipilih di mana data-data tersebut menguntungkan kandidatnya sambil membuang jauh-jauh berbagai data yang tidak mendukung framing yang hendak dibangun.
Melalui cara demikian, kita bisa melihat “media-media” yang ada menjelang pemilihan. Dan saat ini, kita bisa mengidentifikasinya. Insyaallah akan terlihat agenda setting dalam mendukung calon tertentu, apabila kita jeli. Tapi tetap saja kita berdoa agar media-media kita adil dalam melihat kenyataan ini.
Politik memang barang yang kompleks, sebab di dalamnya terjadi pertarungan kekuasaan, dan adakalanya orang-orang menggunakan segala cara agar mereka sukses mendapatkan kekuasaan itu.
Ada juga metode yang begitu ilmiah dan memang terkesan sebagai “permainan elegan” yaitu suatu perilisan survei “abal-abal”, yang sekadar untuk memengaruhi opini publik maupun elit bahwa kandidat tertentu bakal memenangkan pertarungan dengan cara yang mudah.
Tentu saja survei politik itu penting sebagai upaya keterbukaan informasi dan pada gilirannya dapat merealisasikan pemilih cerdas, namun siapakah orang yang mampu menjamin hasil survey itu bukan merupakan “barang selundupan”?
Bagaimanapun, tujuan kampanye politik, baik yang berbentuk positif, negatif, maupun hitam, adalah mendongkrak elektabilitas sang kandidat yang diusung dan menurunkan tingkat ke-dipilih-an para rival-rival.
Di atas segalanya, “pesta demokrasi” semestinya tidak ditarik ke dalam “jual-beli” kampanya hitam. Bagi saya, dan bagi mereka yang berpikir waras, kampanye semacam ini sudah barang tentu menurunkan derajat dari kualitas demokrasi dan kondisi sosial masyarakat, sekaligus mereduksi keharmonisan rakyat dan meretakkan jembatan kesejahteraan untuk masa depan bangsa ini.
Bagi kita yang berpikir untuk kebaikan bersama, dan sebagai pemilih wakil dan pemimpin kita kelak, sudah saatnya untuk masuk ke dalam “transaksi” ide-ide dan program masa depan yang ditawarkan oleh para kandidat.
Namun faktanya, akan sangat sulit bagi kita melihat dan mengukur tawaran itu apabila sedari awal kita tidak open minded, tidak membuka diri kita untuk melahirkan kesejahteraan secara bersama-sama guna kebahagiaan untuk kita semua. Kita butuh kesadaran (awareness) yang tinggi untuk kondisi politik kita saat ini dan masa akan datang.
Ini bukan hanya soal kesenangan untuk menang ataupun derita bagi yang kalah, akan tetapi, lebih kepada kita adalah manusia yang membutuhkan kesejahteraan dengan jalan kolektif. Untuk Indonesia tercinta, yang dihuni hampir 300 jiwa.
Kemanakah arah dinamika elektoral, kemana arah bangsa kita, kemana arah masyarakat kita, akan ditentukan oleh cita-cita dan cara-cara rasional dan ilmiah kita dalam menimbang apa yang terpampang di hadapan mata kita.
Saya, atau kita, masih percaya kepada media-media untuk menciptakan obor informasi yang mengobarkan api keadilan dan membakar kezaliman. Media adalah salah satu pilar demokrasi yang tanpanya, demokrasi akan mengalami kepincangan dan tak bisa melangkah dengan baik.
Semoga dengan adanya kesadaran tentang politik, kita tidak lalai akan amanat demokrasi. (*)