OPINI: Titik Temu Pemikiran Mulla Sadra dan Sigmund Freud tentang Jiwa

Ritmee — Jiwa manusia adalah subjek kompleks yang telah menjadi perhatian para filsuf dan psikolog selama berabad-abad.

Dalam perjalanan sejarah pemikiran, banyak teori dan pandangan yang telah diajukan untuk menjelaskan alam jiwa manusia.

Dua tokoh terkenal memberi pemikiran berbeda ihwal jiwa yang menarik untuk dicermati, adalah Mulla Sadra, seorang filsuf Islam abad ke-17, dan Sigmund Freud, seorang psikoanalisis terkemuka abad ke-20.

Meskipun mereka berasal dari tradisi berbeda, ada titik temu dalam pemikirannya tentang jiwa yang tentu saja dapat memberikan wawasan menarik.

Mulla Sadra adalah salah satu filsuf terkemuka dalam tradisi filsafat Islam, terkenal karena pemikirannya tentang eksistensialisme ontologis.

Menurut Sadra, jiwa manusia merupakan substansi unik, yang terhubung dengan realitas spiritual dan materi.

Dia meyakini bahwa jiwa memiliki dimensi batini yang tidak terbatas, dan melalui pengalaman serta introspeksi, manusia dapat memahami hakikat eksistensinya.

Baginya, jiwa merupakan sumber pengetahuan dan kesadaran. Juga memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang realitas sejati.

Di sisi lain, Sigmund Freud adalah pendiri psikoanalisis, suatu pendekatan psikologis yang menekankan peran tak sadar dalam kehidupan manusia.

Freud berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga komponen: id, ego, dan superego.

Id mewakili nafsu dan dorongan dasar manusia, sementara ego berfungsi sebagai mediator antara kebutuhan id dan realitas luar.

Superego merupakan representasi internal dari aturan dan nilai-nilai masyarakat yang diajarkan kepada individu.

Freud juga menekankan pentingnya memahami konflik dan peran tak sadar dalam membentuk perilaku manusia.

Meskipun Sadra dan Freud memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami jiwa manusia, ada beberapa titik temu penting dalam pemikiran mereka.

Pertama, keduanya mengakui kompleksitas dan lapisan dalam jiwa manusia. Sadra mengajarkan bahwa jiwa memiliki dimensi batiniah yang tidak terbatas, sementara Freud menekankan peran tak sadar yang mencakup dorongan-dorongan yang tersembunyi.

Keduanya mengakui bahwa pemahaman jiwa manusia melibatkan lebih dari sekadar pengamatan permukaan.

Selain itu, kedua pemikir juga menganggap pengalaman dan introspeksi sebagai sarana untuk memahami jiwa.

Sadra memandang pengalaman sebagai cara untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang realitas sejati, sementara Freud mengembangkan metode psikoanalisis yang melibatkan pengamatan diri dan proses terapeutik untuk memahami aspek tak sadar dalam diri manusia.

Keduanya menekankan pentingnya refleksi diri dalam memahami jiwa manusia.

Namun, perbedaan utama antara Sadra dan Freud terletak pada landasan dan pandangan ontologis mereka.

Sadra memandang jiwa sebagai entitas spiritual yang unik, terhubung dengan realitas yang lebih tinggi.

Sedangkan Freud lebih berfokus pada aspek psikologis dan sosial dalam membahas jiwa manusia.

Perspektif mereka tentang jiwa tercermin dalam konteks budaya, agama, dan tradisi filosofis yang berbeda.

Sebagai kesimpulan, sekalipun Mulla Sadra dan Sigmund Freud berasal dari tradisi pemikiran yang berbeda, tapi ada titik temu penting dalam pandangan mereka tentang jiwa manusia.

Keduanya mengakui kompleksitas jiwa manusia dan pentingnya pemahaman yang mendalam melalui introspeksi dan pengalaman.

Meskipun ada perbedaan dalam aspek landasan dan ontologi, pemikiran mereka memberikan kontribusi yang berharga dalam pemahaman kita tentang jiwa manusia.

Melalui penelitian lebih lanjut dan dialog antara tradisi pemikiran, kita dapat terus mengeksplorasi dan memperdalam pemahaman kita ihwal fenomena yang begitu sentral bagi kehidupan manusia ini.

Penulis: Ugha Anugerah (Aktivis Sosial dan Mahasiswa Pascasarjana Bimbingan Konseling UNJ)