RITMEEKALTIM.co.id — Hasil penelitian Komnas Perempuan dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2017 menunjukkan bahwa sunat atau khitan perempuan secara medis mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka pendek, menengah, dan panjang.
Walaupun bahaya sunat perempuan secara medis terbukti, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan.
MUI beranggapan bahwa sunat perempuan bertujuan untuk memuliakan perempuan (makrumah).
Fatwa MUI tersebut dikeluarkan untuk merespons Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Nomor HK.00.07.1.3.1047a Tahun 2006 mengenai Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan
bagi Petugas Kesehatan.
Akibat dari intrupsi MUI tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemudian mencabut aturan larangan medikalisasi sunat perempuan dan mengeluarkan Peraturan tentang Sunat Perempuan Nomor 1636/ MENKES/PER/XI/2010 tertanggal 15 November 2010.
Alih-alih mencegah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, peraturan Kemenkes itu justru menjadi petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pelukaan genital perempuan dan tidak menegaskan larangan terhadap sunat perempuan.
Fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan menjadi dasar dalam melanggengkan tradisi tindakan diskriminasi serta kekerasan seksual kepada perempuan dan anak-anak perempuan di Indonesia.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2022 menyemai lima sikap keagamaan, salah satunya perlindungan perempuan dari bahaya pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis.
KUPI menegaskan status haram terhadap sunat perempuan tanpa alasan medis. Semua pihak bertanggung jawab dan berkewajiban untuk melindungi perempuan serta mencegah tindakan P2GP tanpa alasan medis.
Menurut KUPI, organ kelamin laki-laki dan perempuan memiliki struktur dan anatomi yang berbeda, sehingga terdapat fungsi dan perbedaan yang sangat signifikan saat melakukan P2GP. Tindakan PZGP tanpa alasan medis, terutama pada klitoris, dapat merusak banyak jaringan saraf dan pembuluh darah yang bisa menyebabkan komplikasi jangka panjang hingga kematian.
Hal tersebut juga didukung dengan data riset World Health Organization (WHO) yang menunjukkan bahwa pemotongan klitoris menjadi praktik sunat perempuan yang banyak dilakukan di Indonesia dan menjadi bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak perempuan. (*)